Jakarta – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengejutkan publik dengan pernyataan tajamnya mengenai mantan Presiden Joko Widodo dalam sebuah podcast.
Dalam perbincangannya dengan Akbar Faizal, Hasto menuduh Jokowi menggunakan sebuah instrumen politik yang ia sebut ‘Partai Cokelat’ sebagai alat untuk mendukung kontestasi politik, bahkan setelah Jokowi tidak lagi menjabat sebagai presiden.
Tuduhan ini menguak isu yang lebih dalam tentang bagaimana kekuasaan masih bisa dikendalikan oleh mantan pemimpin lewat saluran-saluran yang dianggap tidak etis.
Hasto mengungkap bahwa ‘Partai Cokelat’ yang ia maksud tidak lain adalah institusi kuat, yang menurutnya digunakan secara sistematis oleh Jokowi selama menjabat untuk menjaga ambisi politik, termasuk mempromosikan keluarga dan orang-orang dekatnya dalam berbagai jabatan strategis.
Ia menegaskan bahwa Jokowi, yang seharusnya menjadi simbol moral, malah terbukti menggunakan aparat hukum untuk tujuan kekuasaan, sebuah langkah yang ia sebut memadukan feodalisme, populisme, dan machiavellianisme.
Tudingan Hasto semakin menguat ketika ia membahas keterlibatan keluarga Jokowi dalam Pilkada 2024, khususnya di Sumatera Utara. Menurutnya, Bobby Nasution, menantu Jokowi, diuntungkan oleh dukungan institusi yang seharusnya netral, sehingga proses kontestasi politik tidak berjalan dengan sehat.
Hal ini, kata Hasto, merupakan contoh nyata dari penggunaan ‘Partai Cokelat’ sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh, meskipun secara prosedural tampak sah, tetapi merusak etika politik dan demokrasi.
Hasto juga menyinggung bagaimana Pilkada di beberapa daerah, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur, dipengaruhi oleh kekuatan yang ia sebut tidak hanya berasal dari partai politik, tetapi juga dari ‘Partai Cokelat’ yang memobilisasi dukungan bagi kandidat tertentu.
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan Jokowi tidak hanya berakhir di tingkat nasional, tetapi terus mengakar melalui jaringan-jaringan politik yang dibangun selama masa kepresidenannya.
Lebih lanjut, Hasto mengungkap bahwa ada dana besar yang dimobilisasi setelah Jokowi meninggalkan jabatannya, mencapai hingga ratusan miliar rupiah.
Dana ini, menurut Hasto, digunakan untuk mendukung kandidat-kandidat yang memiliki kedekatan dengan Jokowi atau yang dianggap dapat melindungi kepentingan politiknya di masa depan.
Mobilisasi dana ini semakin memperkuat tuduhan bahwa meskipun Jokowi telah turun dari kursi kepresidenan, pengaruhnya masih sangat kuat dalam menentukan arah politik di Indonesia.
Institusi resmi, yang seharusnya menjadi lembaga penegak hukum yang netral, justru dipersepsikan sebagai bagian dari permainan politik ini.
Hasto menekankan bahwa ‘Partai Cokelat’ telah mengaburkan batas antara institusi negara dan politik praktis, sehingga merusak kepercayaan publik terhadap netralitasnya.
Kritik ini memperlihatkan bagaimana institusi yang vital bagi keamanan dan ketertiban justru berpotensi menjadi alat bagi kepentingan politik elite.
Dengan mengaitkan ‘Partai Cokelat’ sebagai alat politik Jokowi, Hasto mengajak publik untuk mewaspadai potensi penyalahgunaan kekuasaan yang terus berlangsung, bahkan setelah Jokowi tidak lagi menjabat.
Bila pernyataan Hasto benar, ini juga mengindikasikan adanya ancaman serius terhadap demokrasi Indonesia, di mana institusi yang seharusnya menjadi penjaga netralitas justru digunakan untuk memperkuat oligarki.
Kritik Hasto ini memicu perdebatan publik tentang hubungan antara politik dan institusi negara di era pasca-Jokowi.
Sementara Qodàri berkomentar, pernyataan Hasto Kristiyanto tentang “Partai Cokelat” sebagai alat politik yang diduga digunakan oleh mantan Presiden Jokowi dapat dilihat sebagai propaganda politik yang bertujuan untuk melemahkan posisi Jokowi dan menciptakan jarak antara Jokowi dan Prabowo.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, menilai bahwa tuduhan ini lebih merupakan upaya adu domba yang dirancang untuk mengguncang koalisi Prabowo yang saat ini didukung oleh banyak pihak, termasuk sebagian besar jaringan politik yang sebelumnya dekat dengan Jokowi.
Dalam konteks ini, Qodari menganggap Hasto sedang memainkan strategi politik untuk membangun narasi bahwa pengaruh Jokowi masih dominan dan menjadi ancaman bagi kedaulatan demokrasi, yang pada gilirannya dapat memengaruhi legitimasi Prabowo sebagai presiden.
Jika dilihat dari perspektif analisis politik, argumentasi Qodari masuk akal juga karena propaganda seperti ini sering digunakan untuk menciptakan persepsi publik yang mendukung kepentingan tertentu.
Sementara Hasto mengangkat isu yang serius tentang netralitas lembaga negara dan oligarki, yang memerlukan bukti kuat lebih lanjut agar pernyataannya tidak dianggap sebagai bagian dari strategi politiknya untuk mengonsolidasikan posisinya menjelang pilkada.
Kebenaran antara Hasto atau Qodari sangat bergantung pada fakta yang mendukung tuduhan tersebut.
Masyarakat menunggu bukti konkret, apa seperti kata Qodari, pernyataan Hasto masih lebih menyerupai narasi politis daripada fakta objektif, atau sebaliknya benar seperti tuduhan Hasto ?
Let’s see …..
(Oleh Syaefunnur Maszah)