Proyek Swasembada Tebu di Papua Selatan: Kepentingan Korporasi dan Ancaman Terhadap Hutan dan Masyarakat Lokal

Jakarta – Proyek swasembada tebu yang digagas oleh Presiden Joko Widodo di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, semakin menuai sorotan dan kritik tajam. Salah satu tokoh yang muncul dalam proyek ini adalah pengusaha sawit Martias Fangiono, pendiri korporasi raksasa First Resources, yang diduga memainkan peran sentral dalam konsorsium pembangunan kebun tebu dan pabrik bioetanol di Papua Selatan. Proyek ini, yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), ditargetkan untuk membuka lahan pertanian baru dengan luas total 2,29 juta hektare, atau setara dengan 70 kali luas Jakarta.

Meski dibungkus dengan narasi besar swasembada pangan dan ketahanan energi melalui bioetanol, megaproyek ini mengundang kecaman, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat adat Papua. Tidak sedikit yang mempertanyakan apakah proyek ini lebih menguntungkan korporasi besar daripada masyarakat lokal yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah.

Direktur Eksekutif Komunitas Demokrasi (Kode) Papua, Toenjes Swansen Maniagasi, memberikan pandangan kritis terhadap proyek ini. “Ini bukan sekadar proyek tebu. Ini adalah bentuk kolonialisme ekonomi baru yang berkedok pembangunan,” ungkap Maniagasi. “Ketika hutan Papua dibabat untuk lahan tebu, itu bukan hanya menghilangkan tutupan hutan, tetapi juga identitas dan hak-hak masyarakat adat. Kami tidak melihat adanya keterlibatan serius dari masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan proyek ini.”

Menurut Maniagasi, ratusan ribu hektare hutan yang akan dibabat habis untuk proyek ini merupakan ancaman serius bagi ekosistem Papua Selatan, yang menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna endemik. Selain itu, hutan-hutan ini juga memiliki nilai spiritual yang sangat penting bagi masyarakat adat. Kehilangan hutan berarti kehilangan warisan budaya dan sumber daya alam yang selama ini menopang kehidupan masyarakat lokal.

Baca Juga  Relawan NPB Siap Sukseskan Kampanye Akbar BTM-YB di Papua: Seruan Persatuan dan Kedewasaan

Maniagasi juga menyoroti soal transparansi dalam pemberian konsesi lahan kepada korporasi. “Nama-nama seperti Martias Fangiono dan korporasi besar seperti First Resources yang terlibat dalam proyek ini menimbulkan banyak pertanyaan. Ada kesan bahwa proyek ini lebih menguntungkan segelintir elite bisnis daripada memberdayakan masyarakat Papua. Ini adalah proyek besar yang seharusnya diawasi dengan ketat, tetapi justru terkesan terburu-buru dan minim pengawasan dari pemerintah pusat.”

Lebih lanjut, laporan investigasi dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkap bahwa Martias Fangiono dan perusahaannya diduga memperoleh konsesi lahan melalui lima perusahaan berbeda, termasuk PT Global Papua Abadi, PT Andalan Manis Nusantara, dan lainnya. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa konsorsium besar ini lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam Papua tanpa memperhitungkan dampak sosial-ekologis yang akan ditanggung oleh masyarakat setempat.

Maniagasi menegaskan bahwa proyek ini seharusnya bukan hanya tentang swasembada tebu atau ketahanan energi. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap proyek yang dijalankan di Papua benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat lokal, bukan hanya menguntungkan konglomerat besar. “Kami tidak menolak pembangunan. Namun, pembangunan harus adil, inklusif, dan tidak mengorbankan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat,” tambahnya.

Ironisnya, proyek yang dibangun dengan dalih meningkatkan ketahanan pangan nasional justru bisa mengancam ketahanan pangan lokal. Masyarakat adat Papua selama ini bergantung pada hutan dan lahan mereka untuk bertahan hidup, melalui berburu, berkebun, dan memanfaatkan kekayaan alam secara lestari. Jika lahan mereka diambil alih untuk proyek komersial skala besar, nasib mereka jelas terancam.

Baca Juga  BTM-YB Menuju Kemenangan Besar di Pilgub Papua 2024: Relawan Siap Deklarasi Akbar

Pada akhirnya, proyek swasembada tebu di Merauke ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan. Apakah masyarakat Papua benar-benar akan mendapatkan manfaat dari proyek ini, atau hanya akan menjadi penonton di tanah mereka sendiri, sementara kekayaan alam mereka dieksploitasi oleh korporasi besar seperti First Resources? Bagi banyak pihak, terutama masyarakat lokal dan aktivis lingkungan, jawabannya jelas. Proyek ini tampaknya lebih mendukung agenda ekonomi korporasi besar daripada kesejahteraan masyarakat adat Papua.

Array
Related posts
Tutup
Tutup