Papua – Merauke, sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, kini kembali dihadapkan pada polemik investasi yang membawa dampak besar bagi masyarakat adat. Sejarah mencatat bahwa berbagai program dan proyek besar, seperti MIRE dan MIFEE, telah meninggalkan jejak trauma yang mendalam. Kini, muncul lagi wacana investasi baru yang justru mengancam keberlanjutan hak ulayat dan lingkungan hidup kita.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak investasi yang masuk ke tanah Papua dilakukan oleh para pemain lama yang berkedok kekuasaan dan dinasti. Mereka sering kali menggadaikan hak ulayat masyarakat dengan janji-janji manis yang pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang. Sementara itu, masyarakat adat yang menjadi pemilik sah tanah dan hutan, justru menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.
Investasi-investasi ini sering kali dipromosikan sebagai upaya pembangunan dan kemajuan ekonomi. Namun, apa yang kita saksikan adalah sebaliknya: hutang yang menumpuk, tanah yang digadaikan selama puluhan tahun, dan masyarakat yang semakin termarginalkan. Mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa yang menikmati hasil tanpa memikirkan dampak jangka panjang bagi generasi mendatang.
Investasi memang penting sebagai salah satu cara untuk membuka lapangan pekerjaan dan pengembangan wilayah. Namun, yang kita khawatirkan adalah mengapa masyarakat selalu menjadi kambing hitam. Apalagi ada pihak-pihak tertentu yang menarik marga dan fam ke dalam permainan kekuasaan ini. Bukankah ini memalukan bagi jati diri kita sebagai masyarakat Anim Ha? Pikiran kita seharusnya bukan seperti hewan di Ragunan, tetapi sebagai pemerhati sosial, politik, dan ekonomi yang cerdas. Ketika sesuatu terjadi dan alam mengamuk, mereka akan menyalahkan orang lain, padahal itu akibat dari arogansi dan kesombongan mereka sendiri.
Kita perlu memperhatikan apakah ada masyarakat yang benar-benar menikmati hasil dari investasi ini, meski dengan alasan pembangunan jalan dan jembatan untuk membuka isolasi wilayah. Namun, manfaat itu tidak sebanding dengan korban yang mungkin akan terjadi. Mari kita lihat apakah ini benar-benar sebuah kemajuan atau hanya mimpi para penguasa yang rakus akan kekuasaan dan dinasti yang menipu demi kepentingan mereka sendiri.
Seharusnya, semua calon pemimpin duduk bersama dan berdiskusi, menentukan siapa yang menjadi kakak, siapa yang menjadi adik, siapa yang memimpin, dan siapa yang diajari. Jika kita terus seperti ini, waktu yang akan berbicara. Semoga kerakusan dan kemunafikan tidak menggusur hak ulayat demi kepentingan politik. Papua hanya membutuhkan kesempatan dan keadilan, dan negara bertugas untuk menjaga serta mengawasi hal ini.
Oleh: Frederikus Gebze, S.E., M.Si