Jayapura – Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, termasuk anak-anak di Tanah Papua. Namun, data terbaru yang diungkapkan oleh Dr. Agus Sumule, dosen Universitas Negeri Papua (Unipa), mengisyaratkan bencana besar yang mengintai. Hingga kini, sekitar 693.000 anak Papua usia sekolah tidak bersekolah, dengan proyeksi angka ini bisa mencapai 1 juta jika tak segera diatasi. Pertanyaannya: apakah pemerintah daerah dan pengelola dana otonomi khusus (Otsus) telah benar-benar gagal?
Kenaikan angka anak yang tidak bersekolah seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah di Papua. Sayangnya, sebagian pemimpin daerah justru merasa tersinggung ketika data ini diungkapkan, alih-alih bereaksi dengan strategi konkret. Ini menunjukkan kegagalan dalam prioritas kebijakan. Banyaknya dana Otsus dan anggaran lain yang dialokasikan dari pusat seharusnya bisa dikelola lebih efektif untuk sektor pendidikan. Namun, realitanya, dana ini seringkali tidak digunakan secara bijaksana dan tepat sasaran.
Pemekaran wilayah yang semakin memperbanyak sekolah di wilayah-wilayah baru tanpa diiringi penyediaan guru yang memadai juga menjadi faktor krisis ini. Lebih banyak sekolah bukan berarti lebih banyak kesempatan belajar jika tidak ada tenaga pengajar yang tersedia. Fenomena ini mencerminkan manajemen pendidikan yang lemah, yang harus segera dievaluasi oleh pemerintah.
Sayangnya, hal ini juga terkait erat dengan kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan dana publik. Bagaimana mungkin angka anak tidak bersekolah terus meningkat sementara dana besar telah disediakan? Pengelolaan keuangan yang buruk, pengawasan yang lemah, serta ketidakpedulian terhadap penggunaan anggaran untuk pendidikan adalah persoalan serius yang membutuhkan tindakan nyata dari pemerintah.
Selain faktor finansial, masalah sosial dan budaya juga berperan dalam meningkatkan angka putus sekolah di Papua. Isolasi geografis, konflik, dan kurangnya infrastruktur pendidikan di daerah pedalaman serta perbatasan memperparah situasi. Tidak hanya anak-anak di kampung terpencil yang kehilangan akses pendidikan, tetapi juga mereka yang tinggal di kawasan perbatasan antarnegara, yang seharusnya lebih mendapat perhatian.
Fenomena ini membutuhkan lebih dari sekadar retorika politik. Pemerintah daerah harus memperbaiki kebijakan pendidikan dari akar, dengan fokus pada pendidikan dasar terlebih dahulu sebelum merencanakan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Upaya seperti Sekolah Sepanjang Hari (SSH) yang disarankan Dr. Sumule bisa menjadi solusi awal, namun ini harus diiringi dengan peningkatan mutu guru, distribusi yang merata, dan infrastruktur yang memadai.
Keberlanjutan generasi emas Papua kini berada di ujung tanduk. Jika pemerintah tidak segera turun tangan dengan kebijakan yang efektif, maka harapan pembangunan Papua akan runtuh seiring dengan hilangnya masa depan anak-anak Papua
Oleh: Sriwahyuni Rumbarar S.Ked, Sekretaris Perempuan LIRA Papua